Tahun 2021 Reuni 212 akan Digelar lagi

oleh

Aksi 212 pertama kali diselenggarakan pada 2 Desember 2016 untuk menggugat Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Poernama (Ahok) dengan penistaan agama. Dari aksi tersebut kemudian berkembang kampanye “jangan memilih pemimpin non-Muslim” yang menguntungkan lawan-lawan Ahok dalam Pilkada 2017.

Reuni pada 2018 dihadiri oleh Prabowo yang mencalonkan diri dalam Pilpres 2019. Dalam reuni tersebut disuarakan dukungan terhadap Prabowo, dengan Rizieq Shihab – yang waktu itu masih di Arab Saudi – menyerukan “2019 ganti presiden”.

Dan dalam reuni tahun 2019, dilaporkan ada pernyataan dukungan kepada Anies Baswedan untuk mencalonkan diri di pemilu 2024 – kendati Novel Bamukmin membantahnya dan mengatakan bila dukungan itu ada, itu merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili PA 212.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir gerakan ini kehilangan tokoh-tokoh sentralnya. Prabowo akhirnya bergabung dengan pemerintahan, Rizieq Shihab dipenjara, dan beberapa petingginya terjerat kasus hukum.

Ketiadaan tokoh yang menjadi simbol gerakan membuat 212 saat ini tak lagi sekuat dahulu, kata pengamat politik Islam dari Universitas Indonesia, Hurriyah.

Hurriyah menjelaskan, pada 2016 silam ada isu yang menyentuh identitas bersama dan mampu mengumpulkan dukungan dari berbagai elemen Muslim – tidak hanya kelompok garis keras, tapi juga kelompok moderat dan warga biasa.

“Sekarang ini apa bisa seperti itu atau tidak, kita perlu melihat lagi nantinya. Isu ini kan bisa berubah-ubah. Boleh jadi misalnya, momentum saat ini diciptakan mungkin ‘bela ulama’ karena MUI sedang diterpa isu karena keterlibatan salah satu tokohnya,” kata Hurriyah.

Potensi dimanfaatkan aktor politik

Bagaimanapun, gerakan 212 harus terus mengadakan reuni untuk terus mempertahankan eksistensi mereka, menurut pengamat politik dari Network for Indonesia Democratic Society (Netfid), Dahliah Umar.

Dahliah memandang gerakan 212 tidak merupakan gerakan Islam semata tetapi juga gerakan politik. Mereka akan tetap menjadi massa mengambang yang berpotensi dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik pada Pemilu 2024 mendatang.

“Yang mereka perjuangkan mungkin Islam, tapi di balik itu selalu ada potensi sebenarnya mereka komoditas yang bisa digunakan oleh siapapun; dan walaupun sekarang belum terlihat mereka akan tetap mempertahankan eksistensi itu untuk kemudian bisa menjadi nilai tawar bagi tokoh politik manapun nantinya yang membutuhkan simpati dari kelompok Islam,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Bagaimanapun, massa 212 bukanlah orang-orang yang anti-partai politik. Berbagai survei menunjukkan bahwa mereka berpartisipasi dalam pemilu dan memberikan suara ke partai politik.

“Mereka kan tetap memiliki massa yang jelas, massa yang besar, dan secara terstruktur juga lebih tertata rapi. Nah itu yang menurut saya bisa mengimbangi gerakan-gerakan yang taktis seperti ini,” kata Dahliah.

Novel Bamukmin dari PA 212 membantah kritik tersebut, dan mengatakan bahwa kelompoknya tidak berfokus pada satu sosok tertentu atau membela satu kelompok tertentu.

“Yang pasti kita berangkat dari awal adalah, 2016 fokus bela agama. Dan sampai saat ini itu nggak pernah berubah,” ujarnya.