Sudahkah Pemerataan Guru Hingga Ke Desa Terpencil

oleh

Oleh Daeng Supriyanto

Anies Baswedan dikenal sebagai salah satu tokoh penggagas gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan ini dinilai berhasil mengirimkan anak muda berdedikasi mengajar di sekolah terpencil di sejumlah pelosok Indonesia. Sekarang, setelah ia dipilih menjadi Mendikbud, akankah Anies dapat mengulang keberhasilan membangkitkan semangat belajar murid terpencil dengan menyediakan guru PNS bagi mereka?

Saat ini diperkirakan ada 2,2 juta guru di seluruh Indonesia, terdiri dari 1,6 juta guru di tingkat SD dan 609 guru di tingkat SMP Dari 2,2 juta tersebut, 1,5 juta adalah guru PNS, 180.000 guru tetap yayasan, dan 677.000 guru tidak tetap alias guru honorer.

Salah satu permasalahan ketersediaan guru bagi sekolah yang kekurangan guru adalah menumpuknya guru PNS di perkotaan. Ditaksir terdapat 11 persen guru di SD dan 27 persen SMP perkotaan perlu diredistribusi ke sekolah pedesaan dan terpencil Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama (Perber) 5 Menteri (Mendikbud, Menag, Mendagri, Menpan RB, dan Menkeu) tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS, yang salah satunya menjadi acuan untuk pemindahan guru antarsekolah dalam kabupaten/kota yang sama, antarkabupaten kota, dan antarprovinsi. Namun, setelah perber ini diberlakukan, distribusi guru tetap tidak merata. Masih banyak sekolah yang kelebihan dan kekurangan guru PNS. Mengapa?

Kebijakan pemerataan guru

Salah satu faktor utama penyebab kegagalan kebijakan ini adalah karena desain kebijakan tak memperhatikan secara saksama dinamika hubungan politik-ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah.

Di satu sisi, pemerintah pusat berkepentingan terhadap keberhasilan pemerataan dan penataan guru (PPG) karena akan menekan kebutuhan guru PNS. Jika PPG berhasil, di mana guru tidak lagi terkonsentrasi pada sekolah tertentu dan distribusi merata di semua sekolah, hal ini akan mengurangi angka kebutuhan guru nasional. Penurunan angka kebutuhan guru nasional pada gilirannya akan menekan alokasi APBN untuk membiayai belanja guru berupa gaji, tunjangan, dan sebagainya.

Kebutuhan guru PNS saat ini ditaksir mencapai 600.000 orang. Jika kebutuhan ini dipenuhi melalui rekrutmen calon PNS, dibutuhkan anggaran paling sedikit Rp 21,6 triliun setiap tahun. Angka ini juga akan meningkat dua kali lipat jika guru tersebut diberi tunjangan sertifikasi sehingga total jadi Rp 43,2 triliun. Pemerintah pusat, terutama Kementerian Keuangan, hampir pasti berkeberatan atas hal ini karena mempersempit ruang gerak dalam pengelolaan APBN. Inilah kepentingan pemerintah pusat atas PPG.

Sementara pemerintah daerah justru memperbanyak kebutuhan guru untuk meningkatkan jumlah pegawai. Jumlah pegawai yang besar akan memperbesar alokasi dana alokasi umum yang diterima pemda. Selain itu, memperbesar kebutuhan guru juga meningkatkan kebutuhan kuota CPNS guru. Sementara rekrutmen CPNS selalu menjadi ajang korupsi bagi elite politik dan birokrat daerah untuk mendapatkan keuntungan (ICW, 2013).

Perbedaan kepentingan dalam pemerataan guru ini sebenarnya telah diantisipasi oleh Perber 5 Menteri 2011. Antisipasi tersebut berupa penjatuhan sanksi berupa penundaan transfer dana perimbangan daerah, penolakan kuota CPNS, dan penilaian buruk atas kinerja pemda. Namun, sayangnya, sampai akhir masa berlaku perber ini, tak ada satu pun daerah yang mendapatkan sanksi dari pemerintah pusat. Tampaknya pemerintah pusat masih ragu menjatuhkan sanksi bagi daerah yang tidak serius memeratakan guru.

Selain itu, pemerintah pusat kurang optimal mendorong pemda mengimplementasikan kebijakan pemerataan guru. Hal ini terbukti dari minimnya program dan anggaran untuk mendukung dan mendampingi daerah melaksanakan PPG. Kalaupun ada program untuk mendukung PPG, itu pun sebatas sosialisasi kebijakan ini pada pemerintah daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *