Bagaimana Mengenal Tuhan Melalui Ilmu Tasawuf

oleh

oleh Daeng Supriyanto

Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh). Rasulullah menyampaikan yang maknanya

Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Firman Allah ta’ala (QS Al-Qalam:4) yang artinya,

Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda kepada Allah

Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik, dan menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar.

Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan.

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47].

Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”

Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.”

Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”

Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)

Abu Bakar ra berkata, “Orang-orang saleh itu akan dicabut satu persatu, sehingga manusia hanya tinggal yang fasik saja, seperti serbuk kurma dan gandum. Allah sudah tidak peduli lagi terhadap mereka.“ Semakin akhir zaman maka semakin sedikit atau semakin asing muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).

Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)

Islam pada awalnya asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) dan pada akhirnya akan asing atau semakin sedikit muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208).

Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam menjelaskan hadis Nabi :

العلم علمان فعلم في القلب فذالك علم النافع وعلم علي اللسان قذالك حجة الله علي ابن ادم (ش) والحكيم عن الحسن مرسلا (خط) عن جابر (ح) وكيل علم الباطن يخرج من القلب وعلم الظاهر يخرج من اللسان

‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah.

Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah.

Ilmu tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya. Seorang Sufi sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.

Orang-orang yang memelihara nafasnya yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir rahasia melalui qalbu-nya, misalnya dzikir Allah ( الله ) misalnya pada saat itu nafasnya keluar/turun, dan dengan dzikir hua ( هو ) pada saat nafasnya masuk/naik, amalan seperti ini adalah amalan-amalan Sufi.

Selama manusia itu bernafas, maka dzikir bathin tersebut dapat diamalkan baik di waktu duduk, berdiri, maupun berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathin itu dapat diamalkan.[2]

Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berpikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, karena tidak akan dapat berkumpul bersama-sama pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya, nafasnya ber-dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf

Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah upaya dalam yang luhur, dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat.[3]

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Tasawuf adalah salah satu dari ilmu-ilmu ke-Islaman yang begitu menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, pada makalah ini akan diuraikan :

  1. Sejauh mana pengertian tasawuf itu ?
  2. Asal-usul kata tasawuf ?
  3. Esensi tasawuf ?
  4. Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf  ?
  5. Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?      Pengetian Tasawuf

Tasawuf sulit didefinisikan tetapi Istilah/ kata ”tasawuf” timbul pada masa Tabi’in namun benih-benihnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat. Tentang Tasawuf AL-HASAN AL-BASRI (Madinah,21H – Basrah,110 H) seorang ulama besar dalam beberapa bidang Ilmu, seperti: Hadis, Fikih dan Tafsir, juga seorang pendidik dan sufi, berkata:

”Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan kedalam neraka

Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui 2 Cara:

  1. Ia mengajak murid-muridnya menghidupkan kembali kondisi masa salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama masa umar bin Khattab, yang selalu berpegang teguh kepada kitabullah dan sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam;
  2. Ia menyerukan kepada murid-muridnya untuk bersikap Zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia, zuhud dalam pengertiannya adalah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari persoalan dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada.

Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).

Pada suatu waktu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .

Ibadah nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh.

Melihat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim).

Selain banyak salat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).

Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan.

Akhlak nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya.

Akhlak nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah Subhabahu wa Ta’ala. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim).

Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya. Dalam diri nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha.

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.

Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.  Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.

Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Setidaknya kehidupan para Sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah:100).

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:

  1. Abu Bakar as-Siddiq. Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk Islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Abu Bakar lah yang pertama menjawab:”Saya ya Rasulullah.”

Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melihat demikian, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”

Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi kemesjid. Disana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena menghibur lapar.”

Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ibadah dan zikir.

  1. Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata:” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.

Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu

menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya.

Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.

Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala), banyak mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, banyak membaca ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.

Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.

Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa.

Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta. Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa Usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…

”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya.

Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).

Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek. Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”.

Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.

Selain keempat khalifah yang telah disampaikan di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman.

Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.    Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ciri-ciri orang Munafik.

Jika ia berbicara tentang orang munafik, para Sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.

Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.

Kehidupan Para Tabiin. Setelah periode sahabat berlalu muncul periode Tabiin (sekitar abad ke-1 H dan ke-2 H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik politik yang dimulai dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai kemasa-masa sesudahnya. Konflik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok Bani Umayyah, Syiah, Khawarij dan Murjiah.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok syiah, yakni kelompok politik yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada saat terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Talib di Karbala.

Kasus pembunuhan ini ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam pada masa itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat kelompok penduduk kufah merasa menyesal karena telah menghianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya Tawabun (Kaum Tawabin).

Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat islam. Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi dikalangan istana.

Mu`awiyah bin Abu Sufyan sebagai Khalifah nampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta para sahabat-sahabat utama dan semakin dekat dengan traidisi kehidupan raja-raja Romawi.

Kemudian anaknya, Yazid (memerintah 61 H/680 M- 64 H/683 M), dikenal sebagai khalifah yang tidak memperdulikan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai pemabuk. Dalam situasi yang demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyeruhkan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu.

Diantara para penyeru tersebut adalah Abu Zar al-Giffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyeruhkan agar ditetapkan keadilan sosial dalam Islam.

Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Sejak itu kehidupan Zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku Zuhud disebut Zahid atau karena ketekunan beribadah maka disebut `abid.

Tokoh Tabiin kelas pertama yang muncul di Madinah ialah Sa’id bin Musayyab (15-94H). Ia banyak mendapat pendidikan dari Mertuanya, Abu Hurairah. Pada dirinya terkumpul kealiman dalam bidang hadist dan fikih disamping juga dalam bidang ibadah, kezuhudan dan akhlak mulia.

Selanjutnya muncul Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab, seorang tabiin yang hidup zuhud. Diriwayatkan (berdasarkan ucapan tabiin) suatu kali Sulaiman bin Abdul Malik masuk ke Mesjidilharam. Didalam mesjid dilihatnya Salim dan ditegurnya:”Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu”. Jawab Salim:” Demi Allah, dalam Baitullah ini aku tidak meminta kepada siapapun kecuali kepada Allah.”

Tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang ihsan

Firman Allah ta’ala yang artinya,

Inilah ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi muhsinin (muslim yang ihsan), (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)

”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.  (QS Shaad [38]:46-47)

Al Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami berkata : “ Berhati-hatilah kamu dari menentang para ulama shufi. Dan sebaiknya bagi manusia sebisa mungkin untuk tidak menentang para ulama shufi, semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan ma’rifat-ma’rifat mereka dan melimpahkan apa yang Allah limpahkan kepada orang-orang khususnya dengan perantara kecintaan kami pada mereka, menetapkan kita pada jalan pengikut mereka dan mencurahkan kita curahan-curahan ilmu ma’rifat mereka.

 Hendaknya manusia menyerahkan apa yang mereka lihat dari keadaan para ulama shufi dengan kemungkinan-kemungkinan baik yang dapat mengeluarkan mereka dari melakukan perbuatan haram. Kami sungguh telah menyaksikan orang yang sangat menentang ulama shufi, mereka para penentang itu mendapatkan ujian dari Allah dengan pencabutan derajatnya, dan Allah menghilangkan curahan kelembutan-Nya dan rahasia-rahasia kehadiran-Nya.

 Kemudian Allah menimpakan para penentang itu dengan kehinaan dan kerendahan dan mengembalikan mereka pada derajat terendah. Allah telah menguji mereka dengan semua penyakit dan cobaan . Maka kami berlindung kepada-Mu ya Allah dari hantaman-hantaman yang kami tidak sanggup menahannya dan dari tuduhan-tuduhan yang membinasakan.

Dan kami memohon agar Engkau menetapi kami jalan mereka yang kuat, dan Engkau anugerahkan kami  apa yang telah Engkau anugerahkan pada mereka sehingga kami menjadi orang yang mengenal Allah dan imam yang mujtahid, sesungguhnya Engkau Maha Mampu atas segala sesuatu dan Maha Layak untuk mengabulkan permohonan “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 113, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS Al Luqman [31]:6).

Mereka yang memperolok-olok kaum sufi adalah hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi

Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.

Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.

Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dan lain lain.

Contoh cara menghasut adalah mereka memotong perkataan-perkataan ulama yang sholeh dan menempatkan bukan pada tempatnya atau menyembunyikan maksud tujuan perkataan tersebut

Contoh hasutan,  mereka menyampaikan bahwa Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”

Perkataan Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tersebut bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi kekurangan akal (dungu).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207). Dari potongan-potongan perkataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi.

Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tasawuf namun tidak benar-benar mengamalkan tasawuf.

Dalam kitab yang sama, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Jelas, dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya. Imam As Syafi’i juga menyatakan,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i

tersebut,”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’.

Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini.

Selain itu, silahkan periksa kurikulum atau silabus tentang tasawuf di perguruan tinggi Islam, pastilah tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).

Berikut adalah hadits yag menjadi landasan utama dari tasawuf dalam Islam, Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’.

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *